amikom.jpg

Selasa, 12 Februari 2013

Panduan Mengelola Hati

Mengapa Guru dan Guru Selalu?

Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shaghiiraa; Ya Allah, ampunilah dosaku dan ampuni dosa ayah ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil. Doa itulah yang pertaman kali saya dapatkan dari guruku. Baru sekian lama, oleh guru-guruku ditegaskan bahwa doa itulah kunci pembuka kotak kunci. Artinya, kita punya banyak kunci yang saking banyaknya sampai kita wadahi kotak. Kotak itu kita kunci lagi dan doa diatas itulah kuncinya.

Anak-anakku, engkau dan aku itu sama-sama anak. Engkau adalah anak-anakku dan aku adalah anaknya eyangmu. Status kita dalam hal ini sama. Jadi jangan curiga dulu, jika saya mengajarkan doa ini saya lalu minta hakku darimu. Dalam dunia perdoaan kata guru tidak berlaku hukum resiprokal antar kita.

Doa-doamu untuk siapa pun termasuk untuk ku, tidak bisa dikonversi dengan amalan muamalah antarkita. Doamu kepada-Nya hanyalah fokus kepada-Nya. Perkara dikabulkan-Nya atau ditolak-Nya itu hitungannya dengan yang mendoa bukan yang didoakan. Jadi kita sama-sama tidak usah saling mengkalkulasi doa. Doamu kepada-Nya untukku (kalau memang ada) itu urusanmu dengan-Nya. Doaku pada-Nya untuk eyangmu juga urusanku dengan-Nya. Namun demikian, tolong ingatlah pesan guru bahwa doa itu adalah kunci dari kotak puluhan bahkan ratusan kuncimu.

Untuk mengetahui hal itu gurulah yang memberi tahu. Guru-gurunya guruku amat takdzim pada guru-gurunya, begitu seterusnya sampai keatas. Imam Abu Hanifah amat hormat pada gurunya. Dalam satu ceramahnya beliau berkata, "setelah guruku hammad wafat, dalam sholatku selalu teriring doa kepadanya selain kepada kedua orangtuaku. Perbuatan itu diikuti oleh Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah; ia selalu mendoakan Abu Hanifah sebelum orangtuanya sendiri.

Demiian pula Imam As Syafi'i kepada Imam Malik. Imam Syafi'i dihadapan Imam Malik membuka lembaran kitab dengan sangat hati-hati agar suaranya tidak mengganggu gurunya. Rabi' murid Imam As Syafi'i, memelankan suara ketika menarik dan menghembuskan napas jika dihadapan As Syafi'i, guru yang dihormatinya itu. Abdullah putra Imam Ahmad pernah bertanya, "seperti apakah tuan Syafi'i itu hingga aku melihat Abi banyak mendoakannya?". "Wahai anakku, dialah matahari bagi dunia dan utamanya dialah guruku" jawab Ahmad bin Hanbal.

Tidak salah jika guru kita jadikan dan kita sikapi sebagai matahari. Matahari tidak pernah menyapa malam . Ia tetap bersinar dan tidak pernah berhenti bersinar, kita saja yang kerap menyelinap. Imam Ghazali pernah menjelaskan, "hak para gurumu lebih besar dari pada orang tuamu". Benar orangtua adalah penyebab kita didunia, sedang guru memandu kita mengarungi dan menuju ke kehidupan kekal. Kalau bukan karena jerih payah dan upaya guru, usaha orangtua akan sia-sia dan tidak bermanfaat. Para guru selalu membenarkan yang salah dan meluruskan yang bengkok atas tuntunan-Nya. Murid-muridnya direngkuhnya sebagai anak-anaknya walau bukan anak biiologisnya.

Itulah sebabnya, dalam refleksi ini saya selalu berlindung pada guru. Dengan sepenuh kesadaran jika ada yang keliru ke sanalah saya berlari. Jika ada yang benar dari sanalah lantaran sumbernya. Dengan begini saya merasa teteg dan tatag mau mengungkapkan apa saja yang saya rasa. Semoga guru-guru saya memahami bahwa boleh-boleh saja ada muridnya yang begini. 


        Penulis 


M. Kalis Purwanto

1 komentar: